Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Text

Navigation Menu

Jumat, 30 November 2012

Pasar Bebas dan Lingkungan Hidup


Pasar Bebas dan Lingkungan



Kondisi Lingkungan
Pada hari-hari ini sepertinya kita tidak ada henti-hentinya mendengar, melihat dan membaca berita soal bencana (alam) yang melanda planet ini (tak terkecuali negeri kita). Kita mungkin tidak terlalu terkejut dan bisa saja bersikap biasa-biasa saja kecuali jika jumlah korban jiwanya sangat besar, dikarenakan sudah terlalu seringnya kita mendengar berita semacam ini. Kehancuran kehidupan beserta sumber kehidupan seolah menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan kita sehari-hari. Bencana sudah dianggap seperti “rutinitas” yang tidak begitu mengganggu.
Kehancuran ekosistem yang menjadi penyebab paling besar terjadinya bencana sudah bukan menjadi isu utama karena begitu banyaknya frekuensi bencana sehingga sebagian besar energi digunakan untuk pertolongan darurat dan rehabilitasi korban.
Kita juga mungkin sudah terbiasa mendengar kebakaran hutan (baik terbakar karena suhu dan cuaca maupun sengaja dibakar), alih fungsi hutan menjadi perkebunan yang telah mengakibatkan hutan kita sebelumnya adalah paru-paru dunia telah berubah menjadi lahan yang kering-kerontang.
Kita –sadar atau tidak sadar- telah merasakan perubahan iklim yang begitu ekstrim. Udara yang begitu panas menyengat dan curah hujan yang begitu tinggi telah kita rasakan dan alami pada akhir-akhir ini. Inilah yang disebut sebagai pamanasan global (global warming). Pemanasan global pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini mengenai permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Sebenarnya, efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dengan efek rumah kaca (tanpanya suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi). Akan tetapi sebaliknya, akibat jumlah gas-gas tersebut telah berlebih di atmosfer, pemanasan global menjadi akibatnya. Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.

Pengelolaan SDA
Kondisi sosial-ekonomi masyarakat dapat diibaratkan sebagai “sudah jatuh tertimpa tangga”, karena datangnya bencana yang bertubi-tubi di samping carut-marutnya ekonomi, sosial, politik dan budaya, ditambah lagi dengan buruknya pengelolaan SDA yang jelas-jelas tidak berpihak kepada rakyat miskin semakin membuat terpuruknya masyarakat ke dalam jurang kemiskinan.
SDA yang merupakan sumber kehidupan bagi rakyat hanya difungsikan sebagai komoditas yang –lagi-lagi hanya menguntungkan bagi kelompok kaya (baca: pemilik modal/kapitalis). SDA hanya berarti jika bisa mendatangkan keuntungan ekonomi saja. Jadi jangan heran jika merebaknya alih fungsi hutan sebagai perkebunan, pengeprasan bukit-bukit untuk dijadikan perumahan, sawah-sawah yang digusur untuk dijadikan perumahan, jalan tol atau lapangan golf, reklamasi pantai, dan masih banyak kasus-kasus semacam itu.
Kondisi seperti ini yang jelas-jelas mengakibatkan hancurnya lingkungan yang berujung pada hancurnya ekosistem tidak juga membuat para pemegang kebijakan benar-benar peduli dan membuka matanya. Alih-alih membuat regulasi yang benar-benar menyelamatkan lingkungan, pemerintah justru mencari kambing hitam atas carut-marutnya kondisi lingkungan ini dengan menyalahkan para petani dan masyarakat pinggir hutan dengan menyebut mereka dengan sebutan perambah hutan. Di samping itu, dimunculkan kepercayaan bahwa menyelamatkan lingkungan hanya bisa dengan tidak membuang sampah di sembarang tempat, menanam pohon di sekitar rumah, tetapi melupakan kenyataan bahwa pabrik-pabrik membuang limbah beracunnya ke sungai atau laut, asap beracun yang keluar dari cerobong pabrik, pembakaran hutan untuk perkebunan, dll.

Ketertundukan Negara
Keberpihakan negara kepada para pemilik modal ini tak lepas dari system kapitalistik yang dianut negara ini. Seperti yang dikatakan oleh Antonio Gramsci bahwa negara adalah representasi klas yang berkuasa, pemerintah benar-benar menutup mata atas kondisi yang terjadi. Ekslopitasi SDA secara membabi-buta yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnasional tanpa mempedulikan kondisi lingkungan maupun sosio-ekonomi-kultural masyarakat. kita lihat saja begitu tunduknya pemerintah dengan Freeport, Exxon, Newmont, Caltex, dll yang menghancurkan kelestarian lingkungan dan banyak menuai konflik seakan dianggap wajar dan biasa saja.
Fungsi negara sebagai pelindung dan pelayan rakyat benar-benar diabaikan demi kelancaran akumulasi modal. Pemerintah hanya jadi “tukang stempel” bagi kepentingan arus modal. Pemerintah benar-benar tunduk kepada sistem pasar bebas yang dicanangkan oleh Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO (World Trade Organization). WTO sebagai sebuah organisasi dunia telah menjadi sarang bagi kapitalis-kapitalis tingkat dunia yang menganggap planet ini sebagai bahan jarahan sekaligus pasar. Ironisnya, WTO dengan regulasinya dapat menghukum negara-negara yang melanggar ketentuan (baca: tidak ramah investor) yang dibuat oleh WTO sendiri. Maka, tidak ada kata lain: Lawan Perdagangan Bebas Demi Kelestarian Lingkungan dan Kelangsungan Hidup Manusia!

Sumber : http://www.argajaladri.or.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=19

0 komentar:

Posting Komentar