1.Pendahuluan
Permasalahan pemerintahan presidensil dengan
multi partai di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung
selesai hingga kini, banyak para pakar politik dan HTN yang menyimpulkan
tidak efektifnya system presidensiil dalam model multi partai. Hal ini karena
pentingnya relasi yang kuat antara presiden dengan parlemen untuk mengambil
berbagai kebijakan dalam menjalankan pemerintahan. Ide untuk
menyederhanakan partai bukan hanya terjadi semenjak reformasi bergulir,
pada pemilu tahun 1977 Soeharto menyederhanakan banyaknya partai menjadi tiga
saja, yakni Golkar, PPP dan PDI. Namun model yang digunakan oleh Soeharto tidak
mencerminkan sikap yang demokratis. Untuk membatasi banyaknya partai politik,
sudah banyak cara yang digunakan sepertielectoral threshold dan parliamentary
threshold.
Namun
berbagai model yang digunakan ternyata belum sepenuhnya berjalan secara
efektif. Dalam makalah ini penulis akan ikut memberikan pandangan terkait model
penyederhanaan partai di Indonesia dengan tujuan menguatkan system
presidensil. Untuk itu penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut:
1)Bagaimana model system pemilu yang
selama ini digunakan di Indonesia?
2)Bagaimana
model yang ideal untuk menyederhanakan partai di Indonesia?
2.Pembahasan
Kesulitan
presidensiil dalam multi partai banyak menjadi perhatian dari para pakar
Politik dan HTN, seperti yang dituliskan oleh Mainwaring di bawah ini:
In this article I argue that in presidential
sistims, multiparty democracy is more difficult
to sustain than two-party democracy. Only one country Chile—with a multiparty sistim and a presidential
sistim has achieved stable democracy. I agree with recent contributions that suggest
that presidential sistims are generally less favorable to stable democracy than
parliamentary sistims (especially cabinet governments), but go one step
further in arguing that the difficulties of presidential democracy are
compounded by multiparty sistims Berdasarkan pengamatan Mainwaring, hanya Chile
yang kondisi pemerintahannya stabil, bahkan ia setuju dengna pendapat yang
mengatakan kalau demokrasi lebih sesuai dengan parlementer dibandingkan dengan
presidensiil. Namun dalam makalah ini penulis tidak akan terlalu jauh membahas
hal tersebut, karena ketika amandemen kita sudah sepakat untuk mempertahankan
dan bahkan memperkuat system presidensiil.
Berbagai Sistem PemiluPolarisasi partai politik sedikit
banyak juga dipengaruhi oleh sistem pemilunya, ada dua sistem pemilihan umum,yaitu:
perwakilandistrik/mayoritas (single memberconstituency) dan
sistem perwakilan berimbang (proportional representation).
1) Sistem Distrik
Sistim ini merupakan sistim
pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap
kesatuan geografis yang dinamakan sebagai distrik memperoleh satu kursi di
parlemen. Negara diabagi kedalam wilayah/distrik yang sama jumlah penduduknya.
Dalam system ini, calon yang mendapatkan suara terbanyak yang akan menjadi
pemenang, meskipun selisih dengan calon lain hanya sedikit. Suara yang endukung
calon lain akan dianggap hilang dan tidak dapat membantu partainya untuk
mendapatkan jumlah suara partainya di distrik lain
Beberapa keunggulan dari sistim distrik
a. Sistim ini lebih mendorong ke arah
integrasi parpol karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan
hanya satu. Hal ini akan dapat mendorong parpol menyisihkan perbedaan yang ada
dan mengadakan kerjasama.
b. Fragmentasi partai dan kecenderungan
partai baru dapat dibendung dan akan mendorong ke arah penyederhanaan partai
tanpa ada paksaan. Di Amerika dan Inggris system ini telah menunjang bertahanya
system dwi partai.
c. Karena kecilnya distrik, wakil yang
dipilih dapat dikenal oleh komunitasnya sehingga hubunganya dengan konstituen
lebih erat dan orang yang tekah terpilih akan cenderung memperjuangkan
kepentingan distriknya.
d. Bagi partai besar, system ini
menguntungkan karena melalui distortion effect
dapat
meraih suara dari pemilih-pemilih lain, sehingga memperoleh dukungan mayoritas.
Sehingga partai pemenang dapat mengendalikan parlemen.
e. Lebih mudah bagi partai pemenang
untuk menguasai parlemen sehingga tidak perlu mengadakan koalisi .
System
distrik memang akan mengarahkan penyederhanaan partai secara alami, namun
system ini juga tidak luput dari kelemahan, diantaranya sebagai berikut:
a. Kurang memperhatkan kepentingan
partai kecil dan golongan minoritas.
b. Kurang representatif, karena partai
yang calonnya kalah dalam suatu distrik akan kehilangan suarau yang telah
mendukungnya .
c. System distrik kurang efektif dalam
masyarakat yang plural karena terbagi dalam berbagai kelompok dan suku.
2). Sistem Proporsional
Dalam sistim ini, presentase kursi
di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap parpol sesuai dengan
presentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tia
parpol. Jimly Asshidiqie
mencontohkan model dari sistim ini, misalkan jumlah pemilih yang sah
dalam pemilu 1 juta orang sedangkan jumlah kursi di perwakilan rakyat 100
kursi, maka untuk satu orang wakil rakyat membutuhkan 10 ribu suara. Pembagian
kursi di parlemen tergantung seberapa suara yang diperoleh setiap parpol.
Kelebihan/keuntungan sistem proporsional:
a.System proporsional dianggap
representatif karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengn jumlah
suara masyarakat yang diperoleh dalam pemilu .
b.Sistem ini dianggap lebih
demokratis karena tidak ada distorsi (kesenjangan antara suara nasional dan
jumlah kursi dalam parlemen tanpa adanya suara yang hilang). Semua golongan
dalam masyarakat memperoleh peluang untuk menampilkan wakilnya dalam parlemen .
Kelemahan/kerugian sistem proporsional:
a. Kurang mendorong partai untuk
berintegrasi atau bekerja sama satu sama lain dan memanfaatkan
persamaan-persamaan yang ada, tapai cenderung mempertjam perbedaan-perbedaan.
Sehingga berakibat pada bertembahnya jumlah partai.
b. Memberikan kedudukan yang kuat pada
pimpinan partai menentukan daftar calon.
c. Oleh karena banyaknya partai yang
bersaing, maka akan menyulitkan suatau partai untuk meraih suara mayoritas (50%
lebih).
Sistim proporsional ada dua,
yaitu sistim daftar tertutup dan terbuka. Dalam sistim daftar tertutup, para
pemilih harus memilih partai politik dan bukan calon legislatifnya. Sedangkan
dalam sistim daftar terbuka, selain memilih gambar paropol para pemilih
juga memilih gambar kandidat yang diusung oleh parpol tersebut.
3). Gabungan system distrik dan
system proporsional Karena dari kedua system di atas mempunyai kelebihan dan
kekuarangan masing-masing, maka beberapa Negara mencoba untuk menggabungkan
kedua system tersebut. Jerman adalah salah satu contoh Negara yang berhasil
menerapkan gabungan kedua system ini, di Jerman setengah dari parlemen dipilih
dengan system distrik dan setengahnya lagi dengan system proporsional. Setiap
pemilih mempunyai dua suara; pemilih memilih calon atas dasar system
distrik (sebagai suara perama) dan pemilih juga memilih partai dengan dasar
system proporsional (sebagai suara kedua). Di jerman juga diterapkan
model parliamentary threshold sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Di sana, sebuah partai akan mempunyai kursi di parlemen jika meraih minimal 5%
dari jumlah suara sah secara nasional atau memenagnkan setidaknya 3% distrik
pemilihan.
3. Perjalanan Sistem Pemilu di
Indonesia
Sejak dulu sampai sekarang Indonesia
tidak pernah berhenti mencari system pemilu yang benar-benar cocok. Namun
yang pasti, sejak dahulu sampai sekarang Indonesia selalu menerapkan model
proporsional meskipun belakangan ini model proporsional yang berlaku
bukan semurni asalnya. Pada tahun 1955 pemilu diadakan dua kali; memilih
anggota DPR pada bulan September dan memlih anggota Konstituante pada bulan
Desember dengan model proporsional karena pada waktu itu hanya system
proporsional yang dikenal di Indonesia. Pemilu tersebut menghasilkan 27 partai
dan satu perorangan, partai yang sangat menonjol adalah Masyumi, PNI, NU dan
PKI10. Pada tahun 1966 dan 1967 sistem distrik sudah mulai didiskusikan, pada
saat itu, system distrik dirasa dapat mengurangi jumlah partai secara alamiah.
Namun hasil tersebut ditolak ketika pada tahun 1967 DPR membahas RUU yang
terkait dengannya. Sehingga pemilu tahun 1971 masih tetap menggunakan system
proporsional dengan beberapa modifikasi. Pertama, setiap daerah tinggakat
II/kabupaten dijamin mendapatkan satu kursi di DPR. Kedua, dari 460 anggota
DPR, 100 nya diangakat; 75 dari ABRI dan 25 dari Non ABRI yang diangkat dari
utusan golongan dan daerah. Pada tahun 1971, pemilu diikuti oleh 10 partai
politik .
Pada tahun 1973 Soeharto menyuruh agar
partai yang ada melakukan fusi, sehingga pada pamilu tahun 1977 anggota pemilu
hanya tiga partai, yakni Golkar, PPP dan PDIP. Setelah reformasi bergulir, ada
sedikit perbedaan dalam susunan parlemen dan model pemilihanya. DPD
dipilih dengan model distrik, sedangkan DPR dan DPRD masih menggunakan system
proporsional daftar terbuka. Pada emilu 2004, ada unsure distrik dalam model
proprsionalnya, yakni suara perolehan suatu partai sisebuah Dapil yang tidak
cukup untuk satu bilangan pembagi pemilih (BPP) tidak bisa ditambahkan ke
perolehan partai di Dapil lain.
4.Mencari Sistem Pemilu Yang Terbaik
Pada pemilu 1999 Indonesia menggunakan sistim
proporsional tertutup, tahun 2004 menggunakan sistim proporsional semi terbuka.
Dinamakan dengan semi terbuka karena penentuan siapa yang akan mewakili partai
dalam perolehan kursi di parlemen tidak didasarkan pada perolehan suara
terbanyak melainkan tetap berdasarkan nomor urut. Tahun 2009 menjadi
proporsional daftar terbuka setelah MK mengabulkan judicial review dengan
menghapuskan pasal 214 UU No 10 th 2008 yang mengatur penetapan caleg
berdasarkan nomor urut jika tidak memenuhi ketentuan 30 % dari BPP. Pada tahun
2009 calon dipilih sesuai dengan suara
terbanyak sehingga proporsional
terbuka benar-benar diterapkan. Sistim proporsional terbuka dapat juga
dikatakan sebagai sistim semi distrik, sebab sistim ini mengkombinasikan
ciri-ciri atau lebih tepatnya kelebihan-kelebihan yang terdapat dalam sistem
distrik dan proporsional, sekaligus menimalisir kekurangan yang ada pada
keduanya.
Pada pemilu 2004-2014, sisa suara yang
terdapat dalam suatu dapil tidak bisa ditambahkan ke dapil lain. Sisa kursi
akan diberikan kepada sisa suara terbanyak namun tidak mencapai BPP. Sebagai
contoh, partai A mendapatkan suara 150.000 sedangkan BPPnya 10.000, maka partai
tersebut akan mendapatkan 10 kursi. Sedangkan sisa 5000 kursinya tidak bisa
ditambahkan ke dapil lain. Jika dalam dapil tersebut sisa suara dari berbagai
partai yang paling banyak adalah 5000 suara, maka sisa kursinya diserahkan
kepada partai A.
Mengenai pengaruh dari sistim pemilu
dan keberadaan partai, Maurice Duverger berpendapat bahwa sistim distrik
cenderung mendorong terbentuknya dua partai, sedangkan sistim proporsional
cenderung mendorong terbentuknya sistim multi partai. Sistim proporsional
cenderung memperbesar fraksionalisme dan mendorong terbentuknya partai-partai
kecil, sehingga ia berkeyakinan kalau sistim proporsional kondusif bagi
bekembangnya multi partai .
Untuk mengurangi banyaknya partai yang tumbuh
dalam system proporsional, Indonesia menerapkan electoral threshold dan
parliamentary threshold .
Pada pemilu tahun 1999 Indonesia menggunakan
electoral threshold sebagaimana
yang terdapat dalam pasal 39 UU No 3 tahun 1999 yang menegaskan bahwa partai
politik harus memiliki 2% dari kursi DPR atau 3% kursi DPRD I atau II
sekurang-kurangnya di setengah jumlah propinsi dan kabupaten seluruh Indonesia.
Batas electoral threshold dalam pemilu 2004 naik lagi menjadi 3% dari
kursi DPR dan 4% kursi DPRD yang tersebar di setengah jumlah provinsi atau
kabupaten di Indonesia.
Mengenai pembatasan partai politik, dalam UU
pemilu 2009 yakni UU No 10 th 2008, ketentuan parliamentary threshold mulai
diberlakukan yang diatur dalam pasal 202. Dengan mulai digunakannya parliamentary
threshold , maka ketentuan
electoral threshold mulai
dihilangkan.
Pemilu tahun 2014 diatur dengan UU No 8 th
2012. Dalam UU teresebut, besaran PT yang pada 2009 sebesar 2.5 %
dinaikkan menjadi 3.5%, hal ini diharapkan dapat membuat parlemen lebih
ramping. Sebagaimana yang ada, partai yang berhasil lolos menjadi peserta pemilu
tingkat pusat hanya 12. Yang membedakan pemilu 2014 dan pemilu sebelumnya
adalah adanya verifikasi yang ketat bagi semua parpol, baik yang sudah ada di
parlemen maupun parpol baru. Pada mulanya
ambang batas parliamentary threshold sekaligus akan dijadikan electoral threshold , namun setelah MK
mengeluarkan putusan No.52/PUU-X/2012 semua parpol mengkuti
tahapan-tahapan verifikasi. Putusan tersebut menguatkan perspektif dalam
proses penyederhanaan partai, yakni dengan menghapuskan ketentuan electoral threshold dan diganti dengan parliamentary
threshold sekaligus
tahapan-tahapan verfikasi bagi semua parpol. Terkait hal ini, Saldi Isra Pernah
menuliskannya dalam sebuah opini di harian Kompas. secara jujur harus diakui, sepanjang pelaksanaan pemilu setelah
reformasi, verifikasi faktual untuk keseluruhan parpol calon peserta pemilu
baru kali ini dilaksanakan. Misalnya, pada pemilu 2004, parpol peserta pemilu
1999 yang memperoleh 2 persen atau lebih jumlah kursi DPR atau paling kurang 3
persen jumlah kursi DPRD ditetapkan sebagai peserta pemilu tanpa
verifikasi. Sementara parpol yang bergabung
dengan sesama yang tak memenuhi ambang batas diverifikasi
terbatas. Verifikasi lebih ketat hanya ditujukan kepada parpol baru.
Dalam pemilu 2009, parpol peserta pemiluu 2004 yang memperoleh minimal 3 persen kursi DPR atau paling kurang 4
persen kursi DPRD secara otomatis menjadi peserta pemilu. System
proporsional terbuka dengan suara terbanyak, peningkatan parliamentary
threshold dan semakin ketatnya persyaratan bagi partai untuk
mengikuti pemilihan umum memang dirasakan lebih demokratis dibandingkan
menggunakan system distrik. Namun hal ini akan berjalan lambat untuk
mendapatkan model dwi partai, bahkan mungkin tidak akan benar-benar
menghasilkan dua partai. Pilihan system pemilu adalah pilihan yang lebih
banyak unsure politiknya dibandingkan unsure akademiknya, berbagai kajian dan
usulan tidak akan ada artinya jika tidak didukung kemauan politik, sebagaimana
kasus yang terjadi pada tahun 1967. Mungkin kita perlu mencoba menggunakan
system distrik, karena selama Indonesia merdeka kita selalu menggunakan system
proporsional dengan berbagai variasi. Pada kenyataanya model tersebut selalu
saja menghasilkan banyak partai.
5. Penutup
Pada awalnya,
di dunia ini terdapat dua model system pemilu, yakni system distrik dan system
proporsional. Karena kedua system tersebut mempunyai beberapa kelemahan,
kemudian beberapa Negara mencoba mengaombinasikanya sehingga dikenal sebagai
system campuran atau semi distrik. Yang menarik, percobaan untuk mencampurkan
system selalu bermula pada system proporsional yang dipoles dengan warna
distrik, bukan sebaliknya.
Semenjak awal diadakanya pemilihan umum, Indonesia masih
tetap menggunakan system proporsional dengan berbagai tambahan warna distrik,
seperti pada tahun 1971 yang menjamin setiap daerah tingkat II
mendapatkan jatah 1 kursi di DPR. Pada tahun 2004-2014, hasil suara suatu
partai yang tidak mencapai BPP tidak dapat ditambahkan ke Dapil lain. Jika
dalam sebuah dapil ada sisa kursi, maka kursi tersebut diserahkan kepada partai
yang sisa suaranya terbanyak. Model yang selama ini digunakan ternyata belum bisa
efektif menyederhanakan partai yang dapat mengefektifkan pemerintahan
presidensiil.
Karena tidak
berhasilnya proporsional yang telah digunakan semenjak pemilu pertama,
mungkin perlu mencoba hal yang baru yakni menggunakan system distrik dengan
berbagai variasi agar tidak terlalu mencederai demokrasi. Model parliamentary
threshold dan pengetatan syarat bagi partai untuk mengikuti pemilu
memang sedikit demi sedikit akan menyederhanakan partai, namun perlu standar yang
tinggi untuk mendapatkan 2 sampai 3 partai. Standar tinggi parliamentary
threshold juga mendapatkan banyak kecaman, partai yang kecil merasa
dizalimi dan mengatakan hal ini bertentangan dengan demokrasi. Jika menggunakan
system distrik, semua partai akan bisa mengikuti pemilu dan akan berjuang keras
agar mereka menjadi partai yang dominan di sebuah distrik. Dengan system ini
tidak perlu ada persyaratan ketat untuk sebuah partai yang akan mengikuti
pemilu, semuanya akan ditentukan dari kemampuanya menjaring suara di setiap
distrik. Dengan beberapa kali pemilu saja system ini akan menghasilkan
2-3 partai yang dominan dan hal ini tentunya akan membuat presidensiil berjalan
secara efektif. Partai yang mendapatkan suara di satu-dua distrik atau bahkan
sama sekali tidak mendapatkan suara, hampir dipastikan akan segera bergabung
dengan partai yang besar.
Referensi:
0 komentar:
Posting Komentar