Organisasi Konferensi Islam (OKI) merupakan organisasi internasional non militer yang didirikan di Rabat,Maroko pada tanggal 25 September 1969. Dipicu oleh peristiwa pembakaran Mesjid Al Aqsha yang terletak di kota Al Quds (Jerusalem) pada tanggal 21 Agustus 1969 telah menimbulkan reaksi keras dunia, terutama dari kalangan umat Islam. Saat itu dirasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengorganisir dan menggalang kekuatan dunia Islam serta mematangkan sikap dalam rangka mengusahakan pembebasan Al Quds.
Atas
prakarsa Raja Faisal dari Arab Saudi dan Raja Hassan II dari Maroko,
dengan Panitia Persiapan yang terdiri dari Iran, Malaysia, Niger,
Pakistan, Somalia, Arab Saudi dan Maroko, terselenggara Konperensi
Tingkat Tinggi (KTT) Islam yang pertama pada tanggal 22-25 September
1969 di Rabat, Maroko. Konferensi ini merupakan titik awal bagi pembentukan Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Secara umum latar belakang terbentuknya OKI sebagai berikut :
1) Tahun 1964 : Pada
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab di Mogadishu timbul suatu ide
untuk menghimpun kekuatan Islam dalam suatu wadah internasional.
2) Tahun 1965 : Diselenggarakan
Sidang Liga Arab sedunia di Jeddah Saudi Arabia yang mencetuskan ide
untuk menjadikan umat Islam sebagai suatu kekuatan yang menonjol dan untuk menggalang solidaritas Islamiyah dalam usaha melindungi umat Islam dari zionisme khususnya.
3) Tahun 1967 : Pecah Perang Timur Tengah melawan Israel. Oleh karenanya solidaritas Islam di negara-negara Timur Tengah meningkat.
4) Tahun 1968 : Raja Faisal dari Saudi Arabia mengadakan
kunjungan ke beberapa negara Islam dalam rangka penjajagan lebih lanjut
untuk membentuk suatu Organisasi Islam Internasional.
5) Tahun 1969 : Tanggal
21 Agustus 1969 Israel merusak Mesjid Al Agsha. Peristiwa tersebut
menyebabkan memuncaknya kemarahan umat Islam terhadap Zionis Israel.
Seperti
telah disebutkan diatas, Tanggal 22-25 September 1969 diselenggarakan
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara Islam di Rabat, Maroko
untuk membicarakan pembebasan kota Jerusalem dan Mesjid Al Aqsa dari
cengkeraman Israel. Dari KTT inilah OKI berdiri.
II. Tujuan Didirikannya OKI
Secara
umum tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk mengumpulkan
bersama sumber daya dunia Islam dalam mempromosikan kepentingan mereka
dan mengkonsolidasikan segenap upaya negara tersebut untuk berbicara
dalam satu bahasa yang sama guna memajukan perdamaian dan keamanan dunia
muslim. Secara khusus, OKI bertujuan pula untuk
memperkokoh solidaritas Islam diantara negara anggotanya, memperkuat
kerjasama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan iptek.
Pada
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) III OKI bulan February 1972, telah
diadopsi piagam organisasi yang berisi tujuan OKI secara lebih lengkap,
yaitu :
A. Memperkuat/memperkokoh :
1) Solidaritas diantara negara anggota;
2) Kerjasama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan iptek.
3) Perjuangan umat muslim untuk melindungi kehormatan kemerdekaan dan hak- haknya.
B. Aksi bersama untuk :
1) Melindungi tempat-tempat suci umat Islam;
2) Memberi semangat dan dukungan kepada rakyat Palestina dalam memperjuangkan haknya dan kebebasan mendiami daerahnya.
C. Bekerjasama untuk :
1) menentang diskriminasi rasial dan segala bentuk penjajahan;
2) menciptakan suasana yang menguntungkan dan saling pengertian diantara negara anggota dan negara-negara lain.
III. Prinsip OKI
Untuk mencapai tujuan diatas, negara-negara anggota menetapkan 5 prinsip, yaitu:
1) Persamaan mutlak antara negara-negara anggota
2) Menghormati hak menentukan nasib sendiri, tidak campur tangan atas urusan dalam negeri negara lain.
3) Menghormati kemerdekaan, kedaulatan dan integritas wilayah setiap negara.
4) Penyelesaian
setiap sengketa yang mungkin timbul melalui cara-cara damai seperti
perundingan, mediasi, rekonsiliasi atau arbitrasi.
5) Abstein
dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah,
kesatuan nasional atau kemerdekaan politik sesuatu negara.
IV. Kiprah OKI dalam Dunia Internasional
Perdana
Menteri Malaysia Abdullah Badawi yang juga menjabat sebagai Ketua
Organisasi Konferensi Islam berpendapat, kekuatan ekonomi negara-negara
anggota OKI, menjadi salah faktor utama yang akan menentukan posisi OKI
di dunia internasional. Kekuatan ekonomi negara-negara anggotanya yang
akan menambah kekuatan OKI dan membuat suara OKI lebih berpengaruh dalam
pergaulan dunia internasional Berbagai permasalahn terus
Ada
satu hal yang menjadi perhatian serius para pakar. Yaitu reformasi OKI.
Di hadapan problema umat yang sedemikian kompleks ini, OKI sebagai
organisasi keislaman terbesar sedunia harus mereformasi diri hingga
problem-problem itu mendapatkan penyelesaian yang kontekstual.
Reformasi
OKI tersebut setidaknya menyangkut dua hal mendasar, yaitu visi dan
keanggotaan. Dari segi visi, OKI sebenarnya “berwajah” Islam politik.
Sebab, OKI (secara historis) lahir (25/1969 di Rabat, Maroko) untuk
merespons peristiwa politik, yakni pembakaran Masjid Al-Aqsha
(21/8/1969) oleh ekstremis Yahudi.
Karena
itu, bisa dipahami bahwa permasalahan Palestina selalu menjadi agenda
utama pada setiap pelaksanaan konferensi OKI. Baik yang berbentuk
konferensi tingkat tinggi (KTT), konferensi tingkat Menlu (KTM), maupun
konferensi luar biasa.
Pada
titik itu, di satu sisi, OKI tidak berbeda dari lembaga-lembaga politik
berkelas dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Liga Arab.
Perbedaannya, OKI membatasi diri untuk negara-negara berpenduduk Islam.
Di sisi lain, OKI telah menjadikan Islam sebagai kekuatan seperti
gerakan Islamis lainnya selama ini.
Perbedaannya,
OKI menjadikan Islam sebagai kekuatan untuk membentengi dan membela
umat Islam di mana pun. Sementara itu, gerakan Islamis bertujuan
menerapkan syariat Islam atau negara Islam. kesalahan paling fatal yang
pernah dilakukan manusia adalah pemaknaan agama dengan kekuatan. Dan,
diakui atau tidak, pemaknaan agama sebagai kekuatan terjadi hampir
merata di semua agama. Sehingga, suatu agama menjadi ancaman bagi agama
yang lain. Relasi antarumat beragama pun terjebak dalam kecurigaan,
ketegangan, bahkan kekerasan.
Pada
perkembangan berikutnya, pemaknaan tersebut melahirkan terma politik
yang “diagamakan”. Misalnya, istilah mayoritas dan minoritas, kemudian
disebut “agama mayoritas” dan “agama minoritas’. Karena pemaknaan
tersebut, Yahudi menjadi Zionis, Kristen menjadi asosial, dan Islam
menjadi tak terpisahkan dari kekerasan.
Keanggotaan
OKI juga menjadi permasalahan tersendiri. Sebagaimana dimaklumi, OKI
menetapkan negara-negara berpenduduk muslim sebagai syarat utama menjadi
anggota tetapnya. Bukan aliran atau sekte. Hingga saat ini, sudah 59
negara berpenduduk muslim yang bergabung dengan OKI.
OKI
pun menjadi elitis dan eksklusif. Menjadi elitis karena OKI hanya
melibatkan pihak-pihak pengambil kebijakan seperti kepala negara dan
menteri. Hal tersebut terlihat jelas dalam setiap konferensi OKI, baik
yang bersifat reguler (tiga tahun sekali) maupun darurat. Kalaupun
melibatkan pihak lain seperti Sekjen PBB, kalangan intelektual, dan
lainnya, itu tak lebih sekadar “tamu kehormatan”. Mereka tidak mempunyai
hak untuk masuk lebih jauh ke dalam pembahasan konferensi dalam bentuk
kebijakan.
Bahkan,
OKI juga menjadi eksklusif. Tak hanya bagi “sosok lain” yang tidak
“islami”, melainkan juga terhadap umat Islam. Tokoh-tokoh muslim pada
tingkat lokal (darah) -apalagi umat Islam- tidak bisa ambil bagian dalam
perumusan masalah serta pengambilan kebijakan. Padahal, bila mau jujur,
para intelektual muslim secara umum dan yang di daerah secara khusus,
maaf, jauh lebih penting daripada para pengambil kebijakan itu.
Alasannya sederhana. Secara akademis, mereka cukup merasakan “asam
garam” kehidupan umat Islam dalam menghadapi berbagai problema. Di sisi
lain, mereka lebih dekat dengan masyarakat. Karena itu, mereka cukup
memahami problem keumatan yang selama ini bergulir di masyarakat.
Dalam
kondisi seperti itu, OKI tak hanya gagal menyatukan umat Islam, tapi
telah menjadi “serpihan”, bahkan penyebab perpecahan tersebut. OKI gagal
menjadi “payung besar” yang bisa menaungi umat Islam di ragam sekte,
aliran, negara, suku, dan budayanya. Sebaliknya, OKI justru memperbanyak
angka sekte dalam Islam.
V. Langkah-langkah OKI ke Depan
Ada tiga hal yang mendesak untuk dilakukan ke depan. Pertama,
reformasi sistem keanggotaan OKI. Dari sekadar melibatkan negara dan
para pengambil kebijakan menuju tokoh-tokoh lokal yang tersebar di ragam
aliran yang ada. Dengan kata lain, OKI semestinya mengembangkan “kepak”
sayap hingga mencakup sekte-sekte Islam, selain negara-negara Islam.
Ibarat payung besar, OKI harus bisa menaungi umat Islam di semua aliran
dan negaranya.
Diakui
atau tidak, ketegangan, kecurigaan, bahkan kekerasan antarsekte Islam
sudah merupakan fakta historis yang cukup ironis. Ketegangan antara
kelompok Syiah dan Sunni di Iraq, Ikhwan Muslimin dan kalangan Islam
moderat di Mesir, serta Islam mayoritas dan Ahmadiyah di tanah air
merupakan permasalahan serius yang tak gampang diselesaikan.
Kedua,
inklusivitas OKI, terutama di ranah teologis. Diakui atau tidak, OKI
selama ini hanya mencerminkan dua aliran besar dalam Islam. Yakni, Syiah
dan Ahlussunnah. Aliran lain seperti Ahmadiyah tidak mempunyai ruang
dalam diri OKI. Padahal, baik secara kualitas maupun kuantitas,
Ahmadiyah tak kalah besar dari dua aliran Syiah dan Ahlussunnah.
Ketiga,
konsensus (ijma’) keumatan. Selama ini, umat Islam -kalangan agamawan
khususnya- sering “berpapasan” dengan ijma’ tersebut. Sebab, ijma’
menempati posisi yang sangat strategis dalam hukum Islam. Yaitu, dasar
kedua setelah Alquran dan sunah. Namun, harus jujur diakui, ijma’ pada
masa sekarang ibarat “makhluk langka”.
Ijma’
tidak tampak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, kecuali dalam
bentuk cerita masa lalu. Dalam kitab-kitab klasik, misalnya, ditengarai
bahwa ulama ini, sahabat ini, pernah mencapai ijma’ seperti ini
0 komentar:
Posting Komentar